Gelombang PHK massal masih menerpa industri tekstil seiring banjir impor khususnya yang berasal dari China.

DPR RI menilai proteksi impor terutama untuk produk tekstil diperlukan, agar kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB bisa terjaga.

Industri Kecil dan Menengah (IKM) Jawa Tengah yang menyasar pasar domestik jauh lebih stabil ketimbang industri besar berorientasi ekspor.

Terdapat 11 perusahaan tekstil yang bakal berdiri, dengan penyerapan tenaga kerja sekitar 40.000 tenaga kerja.

Pemerintah bakal menerapkan Bea Masuk Tindakan Pengamanan atau BMTP dan Bea Masuk Anti Dumping untuk produk tekstil.

Banjirnya produk impor dalam industri TPT (tekstil dan produk tekstil) membuat tekanan bisnis sehingga berujung pada maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).

Di tengah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja alias PHK massal, industri tekstil kini harus bersiap masuknya investor garmen asal China.

Perusahaan garmen asal China dikabarkan berencana membangun pabrik di Indonesia di tengah tantangan dan kondisi industri tekstil lokal.

Regulasi yang tidak konsisten menjadi penyebab investor maju mundur menanamkan modal di industri tekstil Indonesia.

Para pelaku industri tekstil menginginkan Pertimbangan Teknis atau Pertek Kemenperin terkait pembatasan impor TPT dipertahankan.

Pengusaha tekstil dan produk turunannya menilai kebijakan pemerintah selalu tumpang tindih antarkementerian, mengorbankan nasib industri padat karya.

Banjir impor produk jadi tekstil disebut-sebut menghambat laju pertumbuhan manufaktur.

Sektor tekstil masih mengalami kesulitan dalam menyerap tenaga kerja baru.

Para pengusaha bahan baku tekstil menilai menumpuknya 26.000 kontainer yang disebut-sebut gegara Lartas, merupakan ulah oknum Bea dan Cukai.

Kebijakan Lartas Impor termasuk acuan Pertimbangan Teknis alias Pertek tengah dievaluasi kembali.