Pertumbuhan ekonom China diproyeksi kian menjauh dari target pemerintah 5% tahun ini, menuntut putaran baru gebrakan stimulus.

PMI manufaktur Indonesia terkontraksi lebih dalam ke level 48,9 pada Agustus 2024 atau berada di zona kontraksi selama 2 bulan berturut-turut.

Kadin Indonesia optimistis memandang kinerja industri manufaktur bakal kembali bergairah meskipun tantangan global masih mengadang.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melaporkan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) stagnan di level 52,40 poin pada Agustus 2024.

Kenaikan impor bahan baku/penolong pada Juli 2024 dinilai tidak serta-merta meningkatkan produktivitas manufaktur yang sedang dalam fase kontraksi.

BPS melaporkan impor bahan baku/penolong meningkat 17,21% secara bulanan atau US$2,35 miliar pada Juli 2024 menjadi US$16,03 miliar.

Apindo memberikan sejumlah opsi yang dapat menjadi langkah jitu untuk mengerek naik tren PMI manufaktur RI yang merosot ke level kontraksi 49,3 pada Juli 2024.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita optimistis kinerja industri manufaktur dapat bangkit kembali apabila didukung dengan kebijakan yang probisnis.

Jokowi menyoroti kondisi manufaktur nasional yang mengalami perlambatan beberapa bulan terakhir. Hal ini tercermin dari anjloknya PMI manufaktur RI.

Kemenperin menuding Menkeu Sri Mulyani tak transparan terkait data isi barang-barang impor dalam 26.415 kontainer yang dilepas seiring kebijakan relaksasi impor

Dua poros pendorong melemahnya industri manufaktur dalam negeri, pelemahan kondisi global dan relaksasi impor di pasar domestik.

Inkonsistensi kebijakan pengaturan impor produk hilir disebut sebagai penyebab terkontraksinya kinerja industri manufaktur Indonesia.

Kadin Indonesia membeberkan kondisi dunia usaha yang mengalami banyak tekanan eksternal sehingga membuat PMI manufaktur Indonesia terkontraksi ke level 49,3

Terutama di negara-negara Asia yang bergantung pada konsumen China, aktivitas manufaktur melambat, termasuk Indonesia.

Kontraksi PMI manufaktur salah satunya ditengarai adanya inkonsistensi kebijakan impor barang jadi atau produk hilir.