Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan politik bebas aktif Indonesia seolah menghadapi dilema. Pasalnya, di satu sisi Indonesia harus berteman dengan semua pihak, namun sisi lainnya juga ingin terhindar dengan konflik AS-China.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan keikutsertaan Indonesia dalam BRICS dianggap dapat melemahkan dolar Amerika Serikat.
“Ini tentunya menjadi masalah. Aerika mengancam kalau BRICS ini melanjutkan rencana, maka Amerika akan menerapkan tarif impor 100% terhadap barang-barang impor dari negara-negara BRICS. Di satu sisi Indonesia baru saja masuk sehingga kemudian menimbulkan pertanyaan,” ujarnya dalam pidato pembukaan Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (NU) pada Rabu (5/2/2025).
Menurutnya, Indonesia tak sepenuhnya terasing dari Negeri Paman Sam meskipun bergabung dengan BRICS. Hal ini karena upaya Indonesia memerankan posisi politik bebas aktif sehingga tidak berpihak pada salah satu pihak.
“Walaupun kita ikut BRICS, kita juga masih bagian dari teman mereka. Belum juga kita tergabung dalam OECD. Jadi bagaimana Indonesia memerankan posisi politik bebas aktifnya sehingga tidak terikat oleh konfrontasi dari Amerika dan Cina, namun bagaimana kita memerankan agar kita bisa masuk ke semuanya,” ucap Listyo.
Sementara itu, Peneliti Departemen Hubungan Internasional Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) Muhammad Habib menuturkan kekhawatirannya terkait strategi Indonesia yang terlalu sibuk memasuki berbagai platform internasional tanpa perhitungan mendalam.
Baca Juga
“Nah dalam kasus Indonesia, seringkali Indonesia masuk dulu tapi tidak ada perhitungannya. Jadi baru berhitung setelah masuk, baru menentukan agenda setelah masuk. Nah itu sebenarnya yang menurut saya tidak begitu merefleksikan makna pesan penting daripada bebas aktif,” katanya kepada Bisnis.
Kendati demikian, bukan berarti Indonesia tidak perlu bergabung dengan berbagai organisasi internasional. Namun, yang terpenting Indonesia mengetahui tujuan bergabung dalam organisasi internasional.
“Jadi memang politik bebas aktif buat saya diwujudkan dengan bagaimana kita mampu membentuk agenda yang ada di dalam organisasi Yang dimana kita sudah berpartisipasi, kita bisa enggak sih mengambil manfaat itu?” tuturnya.
Dalam konteks persaingan antara Amerika Serikat dan China, lanjutnya, mengandalkan keanggotaan di berbagai organisasi internasional sebagai jaminan untuk menghindari konfrontasi tidaklah cukup. Menurutnya, perlu reformasi domestik sebagai kunci untuk menarik investasi yang terdiversifikasi.
“Reformasi domestik sudah tidak bisa lagi di nego-nego. Misalnya yang tadi soal isu kepastian hukum, kemudian juga agenda pemberantasan korupsi tidak boleh dipolitisasi, kemudian bagaimana TKDN itu harus ditinjau ulang,” terangnya.
Selain itu, juga perlu memperkuat Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan memperkuat hubungan dengan negara-negara yang tengah berkembang seperti Afrika atau Amerika Latin.
“Perlu memperkuat kesepakatan perdagangan dengan negara-negara anggota G7 lainnya selain AS. Jadi beberapa langkah-langkah ini yang sebenarnya bisa kita lakukan gitu,” ujar Habib.
Pemerintah Indonesia diharapkan dapat meningkatkan komunikasi bilateral dengan Pemerintah AS agar bisa terhindar dari target tarif AS. Kebijakan luar negeri harus melibatkan diplomat-diplomat di dalam Kementerian Luar Negeri.
“Indonesia bisa membungkus berbagai macam posisi geopolitik, itu bisa mendukung apa yang Trump inginkan, bisa terbebas dari tarifnya Trump,” katanya.
Habib berharap pemerintah dapat memperkuat kebijakan di dalam negeri agar bisa menentukan agenda yang konsisten.
Dia menyoroti soal keputusan Instruksi Presiden (Inpres) no. 1 tahun 2025 mengenai efisiensi anggaran yang dinilai akan berdampak pada Kementerian Luar Negeri. Pasalnya, Kementerian Luar Negeri harus melakukan kajian analisis, dan juga untuk menerapkan Kebijakan Luar Negeri harus bertemu dan saling berdiskusi.
Menurutnya, efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah perlu memperhatikan konteks dengan mempertimbangkan fokus bisnis kementrian yang berbeda-beda.
Terpisah, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Roy Soemirat berpendapat pihaknya akan turut serta untuk melakukan hal-hal yang sudah diputuskan secara nasional dengan berbagai macam dampak dan konsekuensi.
Kemenlu akan melakukan penyesuaian seperlunya tanpa mengurangi hal-hal yang bersifat sangat prinsipil.