Buntut Panjang Kasus Bullying Dokter Aulia Risma

Polda Jateng telah menetapkan 3 orang tersangka dalam kasus bullying dokter Aulia Risma Lestari.
Ilustrasi kasus bullying di lingkungan kedokteran./ Dok Freepik
Ilustrasi kasus bullying di lingkungan kedokteran./ Dok Freepik

Bisnis.com, JAKARTA -- Kasus bullying yang diduga memicu aksi bunuh diri dokter Aulia Risma Lestari memasuki babak baru. Polda Jateng telah menetapkan 3 orang tersangka dalam kasus tersebut.

Ketiga orang tersangka itu antara lain Kepala Program Studi alias Kaprodi Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, TEN beserta, seorang kepala staf medis, dan dokter senior masing-masing berinisial SM dan YZA.

Sekadar informasi, dokter Aulia adalah seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran Undip Semarang. Dia ditemukan meninggal dunia diduga bunuh diri di tempat indekosnya di Jalan Lempongsari, Kota Semarang, Jawa Tengah.

Kematian korban berinisial Aulia Risma (AR) yang ditemukan pada Senin (12/8/2024) lalu tersebut diduga berkaitan dengan perundungan di tempatnya menempuh pendidikan.

Berdasarkan keterangan Kemenkes, AR juga diduga diperas oleh seniornya sebesar Rp20 juta – Rp40 juta per bulan dari Juli hingga November 2022.

Ayah ARL Meninggal Dunia

Tak berhenti sampai di situ, ayah ARL dinyatakan meninggal dunia pada Selasa, 27 Agustus 2024 karena kondisi kesehatan yang memburuk. 

Menkes vs Undip Berseteru 

Adapun kasus itu sempat memicu perseteruan antara Kementerian Kesehatan dan Universitas Diponegoro alias Undip. 

Komite Solidaritas Profesi bahkan melaporkan Menkes Budi Gunadi Sadikin atas dugaan penyebaran berita bohong terkait dengan kasus peserta PPDS FK Undip yang meninggal dunia. 

Perwakilan Komite Solidaritas Profesi M Nasser menduga Menkes Budi Gunadi dan Dirjen Yankes Kemenkes Azhar Jaya telah melanggar Pasal 45A UU ITE tentang penyebaran berita bohong. 

“Melaporkan pejabat Kementerian Kesehatan atas penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran,” kata Nasser di Bareskrim Polri, Rabu (11/9/2024).

Menurutnya, Menkes dan Dirjen Yankes diduga menyampaikan informasi yang belum bisa dibuktikan, misalnya terkait kematian peserta AR yang disebut bunuh diri karena dirundung (bullying).

Selanjutnya, soal pemerasan Rp40 juta kepada korban selama beberapa bulan juga dinilai belum tentu benar. Pasalnya, korban yang diduga tewas statusnya merupakan bendahara dalam PPDS FK Undip.

"Ada pemalakan Rp20juta-Rp40 juta itu juga tidak benar. [Uang] Rp20 juta-Rp40 juta itu beliau almarhum dalam kapasitas sebagai bendahara yang mengumpulkan dana teman-temanya 11 orang terkumpul Rp40 juta. Itu dibelanjakan selama 3 bulan menjadi bendahara itulah yang kemudian dicatat dalam bukunya, buku ini salah baca atau diputar balik " tambahnya.

Oleh sebab itu, kata Nasser, proses penyelidikan atau pengungkapan kasus dugaan bunuh diri ini merupakan ranah kepolisian bukan pihak Kemenkes.

"Kejadian bunuh diri itu adalah kematian tidak wajar dan bunuh diri itu menjadi kapasitas kewenangan dari Polri bukan kewenangan dari orang-orang lain yang tidak memiliki cukup kewenangan untuk melakukan proses itu," imbuh Nasser.Perseteruan antara Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip) terkait kasus meninggalnya mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) akibat perundungan (bullying) memasuki babak baru. 

Pada Rabu (11/9/2024), Komite Solidaritas Profesi melaporkan Menkes Budi Gunadi Sadikin atas dugaan penyebaran berita bohong terkait dengan kasus peserta PPDS FK Undip yang meninggal dunia. 

Perwakilan Komite Solidaritas Profesi M Nasser menduga Menkes Budi Gunadi dan Dirjen Yankes Kemenkes Azhar Jaya telah melanggar Pasal 45A UU ITE tentang penyebaran berita bohong. 

“Melaporkan pejabat Kementerian Kesehatan atas penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran,” kata Nasser di Bareskrim Polri, Rabu (11/9/2024).

Menurutnya, Menkes dan Dirjen Yankes diduga menyampaikan informasi yang belum bisa dibuktikan, misalnya terkait kematian peserta AR yang disebut bunuh diri karena dirundung (bullying).

Selanjutnya, soal pemerasan Rp40 juta kepada korban selama beberapa bulan juga dinilai belum tentu benar. Pasalnya, korban yang diduga tewas statusnya merupakan bendahara dalam PPDS FK Undip.

"Ada pemalakan Rp20juta-Rp40 juta itu juga tidak benar. [Uang] Rp20 juta-Rp40 juta itu beliau almarhum dalam kapasitas sebagai bendahara yang mengumpulkan dana teman-temanya 11 orang terkumpul Rp40 juta. Itu dibelanjakan selama 3 bulan menjadi bendahara itulah yang kemudian dicatat dalam bukunya, buku ini salah baca atau diputar balik " tambahnya.

Oleh sebab itu, kata Nasser, proses penyelidikan atau pengungkapan kasus dugaan bunuh diri ini merupakan ranah kepolisian bukan pihak Kemenkes.

"Kejadian bunuh diri itu adalah kematian tidak wajar dan bunuh diri itu menjadi kapasitas kewenangan dari Polri bukan kewenangan dari orang-orang lain yang tidak memiliki cukup kewenangan untuk melakukan proses itu," imbuh Nasser.

Respons Kemenkes 

Kemenkes tak ambil pusing soal pelaporan dugaan penyebaran berita bohong terkait dengan kasus meninggalnya peserta PPDS FK Undip.

“Kami tidak ambil pusing terkait ini,” terang Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi kepada Bisnis, Kamis (12/9/2024).

Adapun, sebelum menyatakan sikap tersebut, Nadia mengatakan bahwa pihaknya menyayangkan upaya yang  tidak berusaha untuk menghentikan aksi perundungan.

“Tapi kami menyayangkan kalau ada upaya yang tidak mendukung menghentikan perundungan,” jelasnya.

Sebelumnya, Kemenkes menemukan adanya dugaan permintaan uang di luar biaya pendidikan resmi yang dilakukan oleh oknum-oknum senior kepada mahasiswi PPDS Anestesi FK Undip yang meninggal dunia, yaitu Dokter Aulia Risma Lestari (ARL). 

"Permintaan uang ini [oleh senior ke dr. Aulia] berkisar antara Rp20 juta – Rp40 juta per bulan," ujar Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril dikutip dari Antara, Senin (2/9/2024). 

Berdasarkan kesaksian, Syahril mengatakan permintaan ini berlangsung sejak almarhumah masih di semester 1 pendidikan atau di sekitar Juli hingga November 2022.

Saat masih hidup, Aulia Risma ditunjuk sebagai bendahara angkatan yang bertugas menerima pungutan dari teman seangkatannya dan juga menyalurkan uang tersebut untuk kebutuhan-kebutuhan non-akademik.

Kebutuhan non akademik itu meliputi membiayai penulis lepas untuk membuat naskah akademik senior, menggaji OB, dan berbagai kebutuhan senior lainnya.

"Pungutan ini sangat memberatkan almarhumah dan keluarga. Faktor ini diduga menjadi pemicu awal almarhumah mengalami tekanan dalam pembelajaran karena tidak menduga akan adanya pungutan-pungutan tersebut dengan nilai sebesar itu," kata Syahril.

Syahril menyebut bukti dan kesaksian akan adanya permintaan uang di luar biaya pendidikan ini sudah diserahkan ke pihak kepolisian untuk dapat diproses lebih lanjut.

"Investigasi terkait dugaan bullying saat ini masih berproses oleh Kemenkes bersama pihak kepolisian," kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bisnis Plus logo

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro