Bisnis.com, JAKARTA--Dugaan keterlibatan Polri dalam politik praktis di sejumlah pelaksanaan pemilihan kepala daerah alias Pilkada 2024 memicu polemik. Ada dorongan untuk mengembalikan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri alias Kemendagri atau di bawah TNI.
Terlepas dari polemik yang terjadi, kinerja Polri memang tengah menjadi sorotan. Apalagi, belakangan ini sejumlah anggota Polri justru disorot karena kasus-kasus kekerasan hingga menjadi beking pengusaha tambang.
Kasus Ferdy Sambo yang membunuh anak buahnya sendiri, kasus penembakan di Solok Selatan, Sumatra Barat, hingga yang terakhir aksi 'koboi' polisi di Semarang yang dengan entengnya menembak siswa SMK hingga tewas, menambah kesan buruk institusi kepolisian.
Kasus yang terakhir ini cukup pelik, karena Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Irwan Anwar sempat mengemukakan bahwa korban penembakan yang berinisial GOR adalah pelaku tawuran. Namun demikian, kabar itu segera dibantah guru dan rekan korban.
Di sisi lain, jika dibandingkan dengan TNI, persepsi publik juga terhadap Polri juga tidak begitu tinggi. Survei Indikator Politik yang dipublikasikan Oktober 2024 lalu, mengungkap bahwa kepercayaan publik kepada TNI mencapai 93% jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Polri yang hanya 67%.
Tren kinerja Polri yang jauh dari ekspektasi itu kemudian memicu politikus PDIP Deddy Sitorus melemparkan wacana mengembalikan Polri ke TNI.
Baca Juga
Evaluasi Polri Perlu
Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi mengemukakan bahwa evaluasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah oleh PDIP yang salah satunya mengarah pada dugaan keterlibatan Polri dalam pemenangan kontestan tertentu dapat dimaklumi sebagai aspirasi politik yang muncul dari pemantauan PDI Perjuangan atas netralitas Polri dalam Pilkada.
"Diakui atau tidak, dugaan itu tidak perlu dibuktikan kecuali menjadi dalil dalam sengketa pilkada, baik melalui Bawaslu maupun nanti di Mahkamah Konstitusi," ujar Hendardi.
Menurutnya, kritik PDIP harus dimaknai sebagai alarm keras bagi kualitas demokrasi dan integritas Pilkada serentak 2024 sekaligus juga menjadi dasar akselerasi reformasi dan transformasi Polri pada beberapa peran yang dianggap memperburuk kualitas demokrasi.
Secara faktual, baik langsung maupun tidak langsung, publik menangkap pesan bahwa terdapat pihak-pihak yang diuntungkan oleh peran-peran Polri, selain peran normatif melakukan pengamanan dan sebagai bagian dari Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Pilkada.
Akan tetapi munculnya aspirasi mengubah posisi kelembagaan Polri di bawah TNI sebagaimana di masa Orde Baru adalah gagasan keliru dan bertentangan Konstitusi RI.
Usulan agar Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri juga bertentangan dengan semangat Pasal 30 ayat (2) dan (4) UUD Negara RI 1945. Ketentuan ini mengatur bahwa usaha keamanan rakyat dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat."
Hendardi menuturkan bahwa hakikat Polri sebagai alat negara kemudian ditafsirkan dalam UU Polri yakni menjadi berkedudukan di bawah Presiden, sehingga tanggung jawab pelaksanaan keamanan dan ketertiban nasional dilakukan kepada Presiden.
GP Ansor Bersuara
Sementara itu, pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor menolak wacana dari PDI-Perjuangan yang ingin menggabungkan Polri ke dalam TNI.
Sekjen Pimpinan Pusat GP Ansor, A. Rifqi al Mubarok berpandangan bahwa upaya PDI-Perjuangan tersebut bertentangan dengan amanah reformasi 1998 yang tertuang di dalam TAP MPR Nomor VI dan VII/2000, serta keputusan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang telah memisahkan Polri dari TNI.
"Salah satu capaian utama dari gerakan mahasiswa dan elemen masyarakat sipil kala itu adalah memisahkan peran dan fungsi Polri dari TNI. Langkah ini menjadi simbol reformasi sektor keamanan yang mendukung supremasi sipil, penghormatan terhadap HAM dan penguatan demokrasi," tuturnya di Jakarta, Minggu (1/12).
Selain itu, Rifqi juga mengingatkan upaya penggabungan Polri ke dalam TNI tersebut akan mengkhianati semangat reformasi dan berpotensi melemahkan demokrasi.
"Langkah itu hanya akan memperbesar risiko penyalahgunaan kekuasaan dan mengaburkan fungsi masing-masing institusi dalam sistem demokrasi kita," kata Rifqi.
Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum GP Ansor H Addin Jauharudin yang menilai bahwa upaya penggabungan Polri ke TNI harus ditolak dengan tegas.
"GP Ansor berdiri tegak menjaga cita-cita reformasi dan memastikan supremasi sipil tetap menjadi pilar utama demokrasi Indonesia," ujarnya.
Addin juga berharap pemerintah, termasuk Presiden Prabowo Subianto, yang dikenal sangat menghormati Gus Dur, tetap bisa berpegang pada prinsip-prinsip reformasi.
"Jangan pernah mundur. Indonesia saat ini membutuhkan komitmen yang kuat untuk mewujudkan negara yang adil, demokratis, dan sejahtera," tutur Addin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News