Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dan DPR belum menyepakati besaran biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) 2023. Pemerintah mengusulkan BPIH kisaran Rp69 juta, sementara itu DPR mengusulkan kisaran Rp50 juta hingga Rp55 juta.
Ketua Komisi VIII DPR Ashabul Kahfi mengatakan bahwa BPIH jangan sampai memberatkan masyarakat. Menurutnya, nominal biaya haji harus dapat ditekan oleh Pemerintah tanpa mengurangi pelayanan terbaik kepada jamaah haji.
"Akan tetapi, niat suci itu terhalang dengan biaya yang sangat mahal. Sebenarnya ini harus dipikirkan pemerintah, tanpa harus memberatkan masyarakat,” paparnya dalam keterangan pers, Selasa (7/2/2023).
Menurutnya kemampuan ekonomi kebanyakan anggota jamaah haji Indonesia yang datang dari berbagai latar belakang profesi itu belum mencukupi apabila pemerintah memutuskan kenaikan BPIH sebesar Rp69 juta.
“Kita tahu 'kan kebanyakan yang naik haji dari para petani, nelayan, pedagang kecil, dan buruh yang mempunyai keinginan melaksanakan kewajiban umat Islam. Tugas Pemerintah sebenarnya seperti itu membuat kebijakan yang memudahkan masyarakat dan pelayanan yang baik,” katanya.
Rencananya pada 14 Februari nanti Komisi VIII bersama dengan Pemerintah akan menetapkan BPIH. Menurut Kahfi saat ini masih dalam tahap pengkajian, namun usulan kisaran BIPIH 2023 tersebut harus realistis dan memenuhi harapan calon jamaah haji.
“Belum, masih dikaji. Tanggal 14 Februari kita [komisi] tetapkan,” ungkapnya.
Januari lalu, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mewacanakan kenaikan biaya haji 2023 reguler dari Rp39,8 juta menjadi Rp69,1 juta. Kontroversi mencuat, setelah otoritas penyelenggara haji kerajaan Arab Saudi, justru mengumumkan penurunan biaya komponen haji pascapandemi.
Pemerintah mengklaim total biaya perjalanan dan akomodasi haji tahun mencapai Rp93 juta. Jamaah haji reguler menanggung 70 persen atau sekitar Rp69 juta, sisanya 30 persen disubsidi pemerintah dari tabungan setoran haji.
Biaya perjalanan haji reguler menjadi ranah pemerintah, dan ditetapkan setiap tahun dengan Keputusan Presiden, setelah mendapatkan persetujuan DPR RI, dalam hal ini Komisi VIII DPR-RI. Merujuk tahun-tahun sebelumnya, Kepres diteken Presiden, tiga bulan sebelum pemberangkatan.